Liputan6.com, Jakarta Gemuruh semangat PON Bela Diri 2025 Kudus diawali dengan pemandangan spektakuler di Alun-alun Simpang Tujuh. Di tengah riuhnya acara kick-off, ribuan pasang mata terpukau menyaksikan tifo raksasa berukuran 50 x 25 meter yang terbentang megah di lapangan utama.
Namun, di balik kemegahan itu tersimpan kisah inspiratif tentang kerja keras, ketekunan, dan semangat delapan anak muda Kudus yang tergabung dalam komunitas Kudus Smart Art yang merupakan sekelompok seniman kreatif yang menjadi arsitek di balik mahakarya ini.
Dari Sketsa ke Mahakarya
Kisah tifo ini bermula ketika panitia PON Bela Diri 2025 mempercayakan pembuatan ilustrasi kepada Guruh Indra, seniman lokal Kudus yang lebih dikenal dengan nama Mbutz Gambutz.
Guruh menyiapkan konsep visual yang menggambarkan karakter Kudus dan semangat PON Bela Diri yaitu harimau Muria, Menara Kudus, dan figur atlet bela diri dengan tagline resmi, “Bela Diri Itu Prestasi.”
Setelah ilustrasi disetujui panitia, proses produksi diserahkan kepada Kudus Smart Art untuk diwujudkan dalam bentuk tifo raksasa.
Delapan Seniman, Sepuluh Hari, Satu Mimpi
Delapan anggota Kudus Smart Art yang terlibat dalam proyek ini adalah Tedi Arianto, Faizar Fachri, M. Andika Susanto, Noor Fais, Aldian Dwi Prasetya, Aditya Alfin Saputra, dan Vicky Febriyanto.
Tedi bertindak sebagai penggerak utama, sementara Andika menjadi pengarah sketsa dan komposisi akhir.
“Tifo PON Bela Diri ini paling berbeda dan paling menantang dari segi material,” ujar Tedi Arianto, seniman sekaligus koordinator tim.
Berbeda dari tifo pada umumnya yang menggunakan kain satin atau peles, mereka memilih kain blacu sebagai medium utama. Ukurannya yang mencapai 50 x 25 meter, memiliki berat awal sekitar 200 kilogram, dan bertambah menjadi 300 kilogram setelah proses pengecatan.
Sentra kain di Padurenan, Kudus bahkan sempat menolak pesanan tersebut karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya, kain dibuat dalam dua bagian (masing-masing 25 x 25 meter) agar dapat diproduksi.
Proyek ini harus diselesaikan dalam waktu 10 hari oleh hanya 8 orang kru, sebuah misi yang hampir mustahil. Sebagai pembanding, tifo besar milik suporter tim nasional (45 x 30 meter) biasanya dikerjakan selama satu bulan oleh sekitar 30 orang.
Karya dari Ruang Terbatas dan Semangat Tanpa Batas
Pengerjaan dilakukan di GOR Bung Karno Kudus, yang memiliki luas lapangan hanya 25 x 12 meter, jauh lebih kecil dari ukuran tifo itu sendiri. Kondisi yang tidak ideal ini tak menyurutkan semangat para seniman muda.
“Hari pertama kami sempat panik, tapi sebagai putra Kudus kami harus menjawab tantangan itu,” kenang Tedi.
Selama sepuluh hari penuh, mereka tidak pulang ke rumah dan memilih tidur di GOR demi memastikan proses pengeringan cat berjalan lancar. Tantangan terbesar muncul di awal ketika cat sulit mengering, sementara waktu terus menipis.
“Kepercayaan diri kami baru muncul di hari ketiga atau keempat. Tapi sejak awal kami percaya, karya ini akan jadi,” tambahnya.
Melukis dengan Tangan, Memberi Nyawa pada Karya
Dua hari pertama dihabiskan hanya untuk mempelajari karakter kain. Setelah uji coba, roller painter terbukti gagal menghasilkan warna merata. Akhirnya, seluruh proses dilakukan secara manual menggunakan kuas dan tangan.
“Karya seni lebih punya nyawa kalau dikerjakan dengan tangan,” ujar Tedi.
Tanpa bantuan proyektor, mereka menggunakan grid dari tali rafia untuk menjaga proporsi gambar secara presisi. Satu kesalahan kecil saja bisa mengubah keseluruhan komposisi.
“Kami hanya pakai grid dan feeling. Sekali salah coret, tidak bisa dihapus,” tambahnya.
Sebanyak 230 kilogram cat dengan 20 warna berbeda digunakan untuk menciptakan gradasi warna dan kedalaman visual. Hasilnya adalah lukisan raksasa yang hidup, karya monumental yang menampilkan jiwa dan semangat anak muda Kudus.
Dari Tifo Jadi Cendera Mata
Usai digunakan dalam acara pembukaan, kain tifo tersebut akan diolah kembali menjadi totebag eksklusif sebagai cendera mata bagi para peraih medali di PON Bela Diri Kudus 2025.
“Tas itu sangat berharga karena dibuat dengan penuh tantangan oleh anak muda Kudus,” tutur Tedi yang juga dikenal sebagai musisi dan penggerak komunitas seni lokal.
Proyek ini menjadi kolaborasi perdana Kudus Smart Art dengan Djarum Foundation sebagai penyelenggara PON Bela Diri Kudus 2025, sekaligus bukti bahwa kerja tulus dan cinta terhadap kota sendiri mampu melahirkan karya yang membanggakan.
“Kami tidak pernah mengejar untung. Kami hanya ingin berkarya dengan hati. Kalau bisa membuat orang bangga dengan karya anak Kudus, itu sudah cukup,” tutup Tedi.