TEMPO.CO, Bandung - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan penggantian aturan soal Upah Minimum Kabupaten/Kota atau UMK yang berbasis wilayah dengan upah sektoral yang berlaku nasional. “Bagaimana kalau upah itu sektoral, tapi terpusat dan berlaku sama di seluruh Indonesia,” kata dia selepas menghadiri pembukaan Rakornas Apindo di Bandung, Selasa, 5 Agustus 2025.
Dedi Mulyadi mengatakan, salah satu persoalan adalah perbedaan upah yang bisa mencapai lebih dari Rp 500 ribu untuk daerah yang bertetangga. Masalah lainnya adalah pabrik yang berpindah domisili karena mengejar daerah dengan upah yang lebih rendah. “Karawang lari ke Indramayu karena UMK-nya rendah, nanti Indramayu naik lagi, lari ke Jawa Tengah, kan tidak begitu,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedi Mulyadi mengatakan, aturan UMK yang diputuskan di daerah juga rentan terpengaruh politik. “Kemudian kalau momentum politik, sering kali dimanfaatkan untuk cari popularitas, kan kurang tepat,” kata dia.
Dedi Mulyadi menyampaikan usulan tersebut di Rakornas Apindo di Bandung, Selasa, 5 Agustus 2025, yang dihadiri sejumlah menteri. Di antaranya Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Dedi juga menyinggung soal regulasi UMK. “Menurut saya, UMK harus dievaluasi. Kenapa? Karena membuat pemerintah tidak rasional,” kata dia.
Politikus Gerindra itu mencontohkan kabupaten/kota yang bertetangga, lokasinya berdekatan, namun perbedaan upah buruhnya jomplang. “Bekasi dengan Bogor, pabriknya deketan, upahnya bedanya Rp 500 ribu,” kata dia.
Dedi Mulyadi pun mengusulkan aturan upah diputuskan berdasarkan sektoral. “Saya lebih setuju upah itu ditetapin sektoral tanpa membedakan wilayah. Tidak usah membedakan wilayah lagi, sudah sektoral. Sektor kimia, energi dan pertambangan di mana pun sekian upahnya, sektor garmen di mana pun sekian, sektor makanan minuman di mana pun sekian, sehingga tidak lagi upah menjadi bahan komoditi politik,” kata dia.
Dedi Mulyadi mengatakan, kebijakan upah bisa menjadi berbahaya jika terpengaruh politik. “Berbahaya penetapan UMK ketika Pilkada. Tidak semua gubernur punya daya tahan terhadap tekanan, tidak semua bupati punya daya tahan tekanan. Kalau daya tahan tekanannya lemah, maka dalam waktu sekejap dia bisa loncat upahnya,” kata dia.
Mantan Bupati Purwakarta itu mengatakan, kebijakan upah seharusnya bukan ranah politik. “Upah itu bukan politik, upah itu kalkulasi hitungan ekonomi,” kata dia.