Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi beberapa tahun belakangan ini terasa sangat cepat, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Meskipun unggul dalam menghimpun data dan menjawab pertanyaann dengan instan, Guru Besar UGM, Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., atau lebih akrab disapa Prof Murti, mempertanyakan satu hal: ‘apakah AI bisa meyakini sesuatu?’
"'Bisakah ia merasakan nilai kejujuran? Bisakah ia merasakan keadilan?' Beberapa pemikir menyebut bahwa AI hanya mampu mengolah simbol," ujar Prof Murti di acara penghargaan Anugerah Liputan6 pada Kamis (16/10/2025) di SCTV Tower Jakarta.
Pertanyaan dan pembahasan di atas, akhirnya mendarat tepat pada satu kesimpulan bahwa ‘pemahaman AI hanyalah ilusi algoritmik’. Artinya, AI tidak bisa memahami makna sejati dari nilai yang dipegang teguh oleh manusia.
"Tetapi, saya kira perdebatan filsafat membawa kita kemudian pada kesadaran sederhana bahwa mesin (AI) mungkin bisa meniru keyakinan kita, bisa meniru nilai, tetapi mesin tidak pernah sungguh-sungguh bisa memilikinya," ia menjelaskan.
Jadi, secara garis besar, menurut Prof Murti, AI tidak memiliki dimensi esensial kemanusiaan, lingkup spasial yang mencakup rasa kemanusiaan dan empati.
“Kehilangan dimensi ini dapat membawa peradaban pada bencana, karena ketergantungan penuh pada AI akan memicu stagnasi peradaban,” ucapnya menambahkan.
AI hanya Bisa Meramalkan Masa Depan dari Data Masa Lalu
Sebelum melangkah jauh ke tahap punahnya peradaban manusia, pertama-tama kita perlu memahami terlebih dahulu, apa itu ‘Stagnasi Peradaban’.
Singkatnya, ‘’Stagnasi Peradaban’ atau berhentinya kemajuan dari hasil buah pikir umat manusia terjadi karena kita kehilangan harapan radikal--sebuah kekuatan untuk berinovasi tanpa menggunakan data.
Jadi, menurut Prof Murti, AI hanya dapat meramalkan masa depan berdasarkan pola masa lalu melalui data yang diberikan. Sementara manusia diciptakan dengan bekal harapan radikal, kemampuan membayangkan sesuatu yang belum ada.
"AI tidak bisa memiliki harapan. Harapan adalah perbedaan mendasar dari manusia," ia menegaskan.
Bagaimana Peradaban Manusia bisa Punah?
Perdaban manusia dapat dikatakan punah ketika mereka tidak mendapatkan pengakuan secara keberadaan (eksistensi) dan mengalami kemusnahan secara jumlah populasi.
Nah, maksud dari kepunahan di sini, nampaknya merujuk pada manusia yang tidak lagi mendapatkan pengakuan keberadaan karena dinilai sudah tidak memberikan sumbangsi akan perkembangan dan perubahan.
Bagaimana Semestinya Kita Bersikap?
Meskipun penggunaan teknologi AI secara penuh dinilai berbahaya, menurut Prof. Murti, menolak teknologi juga bukan hal yang bijaksana. iA menyarankan untuk mengambil jalan tengah, mendidik manusia bersama AI.
Dalam konteks ini, AI seharusnya menjadi kolaborator, berfungsi sebagai alat bantu yang kuat untuk mengoptimalkan proses belajar karena mereka menawarkan model pembelajaran baru, lebih kreatif, dan berbasis data.
Menelaah dari penggalan bagian ‘AI seharusnya menjadi kolaborator’, nampaknya yang beliau inginkan adalah penggunaan AI tetap disertai kritisi dan supervisi dari manusia.
Jadi, tak hanya kalangan akademisi, cendikiawan, dan peneliti, diri kita sendiri pun harus menempatkan AI sebagai alat dan teman yang masih membutuhkan masukan, kritikan, dan tanggapan.
Dengan tetap melakukan kebiasaan seperti ini, harapannya manusia tidak kehilangan taring yang membedakan eksistensinya dengan makhluk hidup.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis atau sekadar memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh AI, setidaknya mampu mempertahankan ‘Critical Thinking’ dari manusia.