TEMPO.CO, Badung - Megawati Soekarnoputri kembali didapuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pengukuhan Megawati dilaksanakan dalam Kongres VI PDIP yang dihelat secara tertutup di Bali Nusa Dua Convention Center, Kuta Selatan, Badung, Bali, pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Putri sulung presiden pertama Indonesia, Soekarno, itu akan memimpin partai banteng untuk periode 2025-2030. Ketua Steering Committee Kongres VI PDIP, Komarudin Watubun, mengatakan peserta kongres mendesak pengukuhan Megawati dilakukan secepatnya. Adapun Megawati tidak dipilih dalam forum kongres ini. “Karena memang sudah terpilih di rakernas kemarin, ini dikukukan kembali,” kata Komarudin di lokasi kongres, Jumat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Megawati pun telah mengambil sumpah dan secara resmi kembali menempati posisi pucuk pimpinan partai banteng. Dengan demikian, Komarudin melanjutkan Megawati tinggal menyusun struktur kepengurusan partai.
Menurut dia, proses pengukuhan Megawati ini berlangsung cepat. Tak lama setelah pembukaan kongres, Megawati langsung dikukuhkan. “Saya juga tidak tahu secepat ini, kami setting kan sampai 23.00 malam,” kata Komarudin.
Adapun sebagai politisi, Megawati telah melewati perjalanan karier politik yang panjang. Pergulatannya di kancah politik Tanah Air tak bisa dilepaskan dari partai yang dipimpinnya hingga kini, PDI Perjuangan.
Megawati terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia—PDIP sebelum berganti nama—pada 1987. Dia kemudian berhasil terpilih menjadi anggota DPR pada pemilihan umum 1987. Ia juga pernah menjabat Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Jakarta Pusat.
Namun, sejak awal terbentuk, konflik internal PDI terus terjadi dan semakin parah lantaran adanya intervensi dari pemerintah. Untuk mengatasi itu, Megawati didukung untuk menjadi ketua umum. Pemerintahan Soeharto yang tidak setuju kemudian menerbitkan larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada Desember 1993 di Surabaya, Jawa Timur.
Larangan tersebut berbanding terbalik dengan keinginan peserta KLB. Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998. Dia menjadi perempuan pertama yang menduduki pucuk kepemimpinan partai, setidaknya selama Orde Baru. Pengukuhannya pun terjadi dengan suara bulat diiringi tepukan riuh dari para pendukungnya.
Pada 1996, konflik di tubuh PDI semakin memanas. Sebab, dalam Kongres PDI yang dihelat di Medan, Soerjadi dinyatakan sebagai Ketua Umum PDI yang baru untuk masa jabatan 1996-1998. Seusai kongres itu, muncul dualisme kepemimpinan PDI lantaran Megawati bersikukuh masih menjadi ketua umum 1993-1998 yang sah.
Megawati saat itu tetap mempertahankan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Namun kubu Soerjadi mengerahkan massa untuk merebut paksa kantor DPP PDI pada Sabtu, 27 Juli 1996. Peristiwa itu akhirnya berujung pada kerusuhan massa di Jakarta. Peristiwa berdarah itu dikenal dengan nama Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli.
Menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, insiden itu menyebabkan lima orang meninggal, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang dihilangkan secara paksa dalam dan seusai peristiwa. Setelah itu, Mega berikut pendukungnya pun dipaksa hengkang dari PDI. Akibatnya, perolehan suara PDI pada pemilu 1997 merosot tajam. Setelah reformasi 1998, Megawati mendirikan PDIP yang dia pimpin hingga kini. Megawati kemudian mengubah nama partai menjadi PDI Perjuangan supaya menjadi pembeda dari PDI.
Kepemimpinan Megawati sedianya berlangsung hingga tahun 2003, tetapi PDIP kemudian menggelar Kongres I di Semarang, Jawa Tengah pada 2000. Kendati kembali mengukuhkan Megawati sebagai ketua umum, masa jabatannya diperbarui dari 2000 hingga 2005.
Pada rentang 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, Megawati menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Lalu pada 23 Juli 2001, Megawati dikukuhkan sebagai Presiden menggantikan Gus Dur yang diberhentikan melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dengan begitu, Megawati bukan hanya perempuan pertama yang menjadi pucuk pimpinan partai politik, tetapi juga perempuan pertama yang menjadi presiden di Indonesia. Megawati menjabat sebagai presiden hingga 20 Oktober 2004, didampingi politisi Partai Persatuan Pembangunan, Hamzah Haz sebagai wakil presiden.
Pada pemilu 2004, Megawati mencoba kembali menjadi presiden Indonesia dengan mencalonkan diri bersama Hasyim Muzadi. Namun, ia kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian menjabat sebagai presiden selama dua periode.
Setelah menyelesaikan karier di pemerintahan, Megawati sepenuhnya mengurus partai. Dia kembali ditetapkan sebagai orang nomor satu di partai berlambang banteng ini pada periode 2005-2010 melalui Kongres II, 2010-2015 melalui Kongres III, 2015-2020 melalui Kongres IV, 2019-2024 lewat Kongres V, dan kini pada periode 2025-2030 pada Kongres VI.