REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajri M. Muhammadin (Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM; Divisi Riset dan Pengembangan, INSANIA; Asosiasi Pengkaji Islam dan Hukum Humaniter Internasional)
“Qatar dibom,” tulis kawan saya Rizki di media sosial, dan saya baca empat menit setelah posting. Rizki ini seorang relawan kemanusiaan veteran terjun di berbagai pelosok Nusantara dan dunia. Saat ini, Rizki sedang bersama Global Sumud Flotilla yang kapal induknya (Family) belum setengah hari sebelumnya dikabarkan dibom israel di wilayah Tunisia.
Seketika saya menghubungi murid saya Aqiela yang baru lulus dan bekerja di Qatar, menanyakan keadaannya. “Yeaaa its only 15 away from me,” jawabnya. Negeri zionis sudah menyatakan bertanggungjawab atas serangan di Qatar, dengan maksud menyasar rombongan perwakilan HAMAS yang sedang melakukan perundingan untuk gencatan senjata.
Sangat mudah menemukan apa saja pelanggaran hukum internasional yang dilakukan israel. Utusan dalam perundingan gencatan senjata dalam konflik bersenjata statusnya dilindungi dan tidak boleh diserang. Melakukan serangan bersenjata ke wilayah negara lain, dalam hal ini Qatar, juga merupakan pelanggaran kedaulatan yang sangat berat.
Percakapan saya dengan Aqiela berlanjut sejenak. Ia mengirim pernyataan pemerintah Qatar, intinya mengecam dan sedang mengerahkan aparat untuk menyelidiki dan menindaklanjuti serangan tersebut. Saya membalas dengan menulis, “International law is really dead isnt it”. Dia tidak menanggapi, tapi ia menulis “I think theres gonna be another attack.”
Apakah betul hukum internasional sudah mati?
Pasca-1945, ada setidaknya dua reformasi sangat besar dalam tatanan dunia sebagai tanggapan atas kekejian yang terjadi selama Perang Dunia I dan II, sehingga hukum internasional menjelma menjadi bentuknya yang sekarang. Reformasi pertama adalah lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tujuan utamanya menjalin hubungan internasional yang damai, karena agresi satu negara ke negara lainnya membuat hubungan internasional yang sangat kacau. Reformasi kedua adalah lahirnya rezim hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, karena ideologi fasisme yang telah berakibat perbuatan tidak manusiawi yang sangat masif dan memakan sangat banyak korban.
Kedua reformasi di atas dapat dikatakan menjadi fondasi hukum internasional kontemporer. PBB bukanlah pemerintah internasional, tapi ia menjadi forum di mana hampir semua negara bergabung dan bersama-sama menyepakati berbagai instrumen hukum sehingga seakan-akan tampak seperti sebuah ‘undang-undang.’ Sedangkan HAM seakan menjadi sebuah ‘agama’ yang menjadi basis pengagungan manusia sebagai individu, kononnya menjaga diri dan kemuliaannya dari kezaliman negara. Betapa besar dan mulia kedua fondasi ini, kononnya.
Jika ada dua fondasi utama, maka ada dua pelanggaran utama. Pelanggaran yang paling besar terhadap reformasi pertama (hubungan internasional yang damai) adalah ‘perbuatan agresi’, yaitu suatu negara melancarkan serangan militer ke wilayah negara lain. Sedangkan pelanggaran yang paling besar terhadap reformasi pertama (HAM) adalah ‘genosida’, yaitu pemusnahan sebuah kelompok karena identitasnya.
Teori hukum internasional pun berkembang, antara lain mengakomodasi sebuah ‘level’ norma yang baru yaitu jus cogens. Ia merupakan kelas norma yang ‘elite’, yaitu norma tertinggi hukum internasional di mana norma lain yang bertentangan dengannya akan batal. Tentunya ini berlaku ke semua negara di segala penjuru dunia, kononnya. “Norma Tuhan”, sebagian sarjana hukum internasional menyebutnya demikian. Dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969, disebutkan bahwa perjanjian internasional apapun yang bertentangan dengan jus cogens (disebut juga peremptory norms) akan batal demi hukum.
Di antara contoh norma yang diakui berstatus jus cogens adalah: “larangan terhadap agresi” dan “larangan terhadap genosida.” Begitulah statusnya, setidaknya dalam teori dan penormaan.
Mahmoud Cherif Bassiouni (almarhum), sarjana legendaris yang dijuluki “Bapak Pidana Internasional,” pernah bahwa salah satu konsekuensi norma jus cogens adalah obligatio erga omnes (kewajiban untuk semua). Memang logis saja, sebuah “norma tertinggi hukum internasional” pastilah menghasilkan “kewajiban untuk semua.” Dari sanalah lahir banyak kewajiban, misalnya: kewajiban memproses hukum, kewajiban mencegah pelanggaran, dan lain sebagainya. Kalau tidak begitu, apa gunanya jus cogens?
Akan tetapi, yang menjadi bahasan serius dalam diskursus hukum internasional khususnya dua dekade terakhir adalah dampak kolonialisme pada pembentukan hukum internasional. Berbagai sarjana semisal David Kennedy, Ram P. Anand, Antony Anghie dan lainnya, mulai menunjukkan bagaimana hukum internasional kontemporer merupakan kolonialisme baru (neokolonialisme) negara-negara kuat terhadap negara-negara yang lemah. Nalar-nalar kolonial kokoh dibentuk dari abad ke-15 hingga ke-20 awal, dan berevolusi menjadi tatanan dunia dengan janji palsu partisipasi “komunitas internasional” yang terjerat hegemoni kekuatan yang itu-itu lagi.
Di sinilah penting membahas satu lagi produk Perang Dunia I dan II, yaitu seekor makhluk haram yang bernama israel. Makhluk ini mendirikan negaranya dengan berbasis genosida sistematis dan berkesinambungan terhadap bangsa Palestina jauh sebelum Oktober 2023 bahkan hingga sebelum pendiriannya. Entah sudah berapa banyak bangsa Palestina yang dihabisi atau diusir dari tanah airnya dan tidak bisa pulang kembali. Seharusnya, negara yang didirikan atas dasar pelanggaran hukum internasional sebagai pondasinya –apalagi yang levelnya jus cogens—tidaklah diakui dan justru seharusnya ditindak.
Akan tetapi, tetap saja mayoritas negara mengakui israel. Yang tidak mengakui israel pun, menyetujui solusi dua negara yang intinya mengakui penjajahan meskipun cuma sebagian. Bahkan setelah garis-garis batas yang ditetapkan oleh PBB tahun 1967 (beserta sederet Resolusi Dewan Keamanan PBB yang lain) tetap dilanggar saja oleh israel, tidak ada konsekuensi apapun. Saat ini entah berapa puluh ribu warga Palestina yang terbunuh oleh serangan militer israel, dan berapa juta lain yang siap meninggal karena kelaparan akibat blokade israel.
Telah lama Indonesia dan berbagai negara Arab mengakui Palestina sebagai negara, dan banyak negara lain menyusul mengakui Palestina pada tahun 2012. Saat itu, PBB pun mengakui Palestina sebagai negara. Itu tidak menghentikan israel melakukan berbagai serangan terhadap wilayah Palestina, baik itu di Gaza maupun di Tepi Barat.
Serangan israel ke Gaza pada Oktober 2023 (hingga sekarang) didukung banyak pihak sebagai ‘pembelaan diri’. Padahal “pembelaan diri” secara hukum memiliki unsur pertama yaitu adanya “serangan yang melanggar hukum.” Jadi, kaum terjajah menyerang penjajahnya adalah pelanggaran hukum?
Tidak cukup Palestina, ternyata israel pun menyerang berbagai wilayah negara lain. Lebanon telah jadi sasaran, Suriah juga diserang, Yaman juga. Dalih “mereka menyerang duluan” tidaklah masuk akal, karena hukum internasional mengenal collective self-defense: boleh menyerang untuk membela negara lain yang diserang. Hizbullah di Lebanon dan Houtsi di Yaman pun menyerang untuk membantu membela Palestina dari israel. Tidak cukup itu, wilayah Tunisia pun kena bom dan kini Qatar juga. Apa konsekuensinya bagi israel?
Pada akhirnya, dua reformasi yang akhirnya menjadi fondasi hukum internasional kontemporer pun habis-habisan dilanggar oleh israel. Prinsip dasar PBB yaitu hubungan internasional damai diterabas dengan agresi berulang dan bahkan serangan terhadap utusan perundingan damai. Hak Asasi Manusia pun diterabas dengan genosida yang terus berkesinambungan.
Memang begitulah makhluk haram bernama israel ini. Justru dua reformasi hukum internasional tadi ditunggangi habis. Dia menunggangi genosida terhadap kaum Yahudi di Eropa untuk mendapatkan simpati dan mulai meng-genosida bangsa Palestina. Kemudian dia menunggangi pengakuan oleh PBB untuk menguatkan “kedaulatan”-nya sendiri, lalu menerabas habis kedaulatan negara lain yang sama-sama diakui oleh PBB. Semuanya yang memuluskan adalah hukum internasional.
Apa konsekuensinya?
Banyak yang berkata “dunia hanya bungkam,” tapi itu kurang tepat. Sebenarnya sudah banyak organ PBB yang telah mengeluarkan keputusan untuk memerintahkan israel menaati hukum internasional dan menghentikan pelanggaran-pelanggarannya. Dewan Keamanan, Majelis Umum, Mahkamah Internasional, Dewan HAM, semua sudah keluar. Kecaman dari berbagai negara di dunia juga sebenarnya sudah banyak mengalir.
Dunia jelas tidak bungkam. Masalahnya: dunia ngomong doang. NATO: No Action, Talk Only.
Margie Segers pernah berdendang:
“Semua bisa bilang sayang, semua bisa bilang. Apalah artinya sayang tanpa kenyataan?”
Norma jus cogens yang saya sebutkan tadi memiliki syarat: ia harus disepakati oleh seluruh negara sebagai norma yang ber-level “tertinggi” tadi. Masihkah “larangan agresi” dan “larangan genosida” berstatus jus cogens? Jangan-jangan sudah muncul norma baru untuk “tidak menindak genosida dan agresi.”
Bahkan, kita amati terus mengalirnya dukungan dana dan persenjataan dari Amerika Serikat dan lainnya kepada israel, dengan kecaman minimalis dan tanpa konsekuensi praktis. Apakah dapat berarti hukum internas...