Oleh : Dr Andi Eka Sakya M Eng*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gempa bumi megathrust berkekuatan Mw 8,8 mengguncang lepas pantai Semenanjung Kamchatka, Rusia, pada 30 Juli 2025.
Guncangan berlangsung selama 3–4 menit dan memicu tsunami setinggi 3–6 meter yang menyapu pesisir timur Kamchatka dan Kepulauan Kuril. Namun berbeda dari bencana-bencana besar sebelumnya, seperti tsunami Kamchatka 1952, Aceh 2004, Sendai 2011, atau Chile 1960, peristiwa ini menorehkan tonggak baru dalam sejarah mitigasi bencana: nihil korban jiwa di lokasi episentrum, kerusakan terbatas, dan evakuasi massal yang berhasil.
Sebagai perbandingan, tsunami Kamchatka 1952 (Mw 9,0) menyebabkan lebih dari 2.300 korban jiwa di Severo-Kurilsk. Saat itu, belum ada sistem peringatan dini, jalur evakuasi belum tersedia, dan pemahaman risiko tsunami masih sangat rendah. Kota-kota dibangun di dataran rendah, dan masyarakat nyaris tanpa waktu atau informasi untuk menyelamatkan diri.
Begitu pula dengan tsunami Aceh 2004 (Mw 9,1–9,3) yang menewaskan lebih dari 230.000 orang di 14 negara. Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang terintegrasi, hingga akhirnya tragedi tersebut memicu reformasi besar-besaran dalam penanggulangan bencana — termasuk pembentukan BNPB dan pengembangan InaTEWS.
Bahkan Jepang yang dikenal sebagai negara dengan teknologi mitigasi bencana paling maju pun masih harus menanggung hampir 20.000 korban jiwa saat tsunami Sendai 2011 (Mw 9,0) menerjang dengan ketinggian gelombang hingga 40 meter. Peringatan dikeluarkan kurang dari satu menit setelah gempa, namun respons sosial, keterbatasan waktu, dan kondisi geografis tetap menimbulkan dampak besar, termasuk krisis nuklir di Fukushima.
Lalu apa yang membuat Kamchatka 2025 berbeda? Kesiapan Sistemik, Resiliensi Nyata
Kunci keberhasilan terletak pada kesiapan sistemik dan kolaborasi lintas negara. Rusia mengaktifkan sistem peringatan tsunami berbasis sensor tekanan dasar laut dan pasut, seperti yang dimiliki Jepang. Sensor ini terhubung ke jaringan komunikasi real-time yang memungkinkan deteksi cepat dan penyebaran informasi langsung ke publik.
Dalam waktu kurang dari 10 menit, Pacific Tsunami Warning Center (PTWC), BMKG, dan lembaga lainnya mengeluarkan peringatan dini lengkap dengan prakiraan penjalaran tsunami. Negara-negara seperti Jepang, Alaska, Hawaii, Filipina, bahkan Indonesia turut mengaktifkan sistem peringatan mereka.
Namun sistem saja tidak cukup. Keberhasilan mitigasi juga ditopang oleh faktor-faktor lain: tata ruang yang mempertimbangkan risiko bencana, relokasi permukiman dari zona merah ke dataran tinggi, kesiapsiagaan masyarakat, jalur evakuasi yang jelas, serta kepadatan penduduk rendah di wilayah terdampak (sekitar 0,6 jiwa/km²).