Pemerintah menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada 2060, meskipun cadangan batu bara di Sumsel diperkirakan baru akan habis pada 2121 dengan total mencapai 8,6 miliar ton. Sebagai penghasil batu bara terbesar kedua nasional, Sumsel dihadapkan pada tantangan besar untuk melakukan transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Pemprov Sumsel menargetkan pada 2045 mendatang, ekonomi hijau berbasis EBT sudah dapat diterapkan secara luas sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045. Transisi ini akan dilakukan secara bertahap, beriringan dengan penurunan penggunaan energi fosil.
“Transisi energi sedang berproses. Prediksi 2030 nanti akan mulai terjadi penurunan pemakaian batu bara, karena ada peralihan listrik ke EBT. Puncaknya akan terjadi ketika nilai ekonomis batu bara turun,” ujar Kabid Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Bappeda Sumsel, Hari Wibawa, Kamis (31/7/2025).
Hari menjelaskan, penurunan nilai ekonomis batu bara dipicu berkurangnya permintaan ekspor dan semakin murahnya biaya penggunaan energi surya dibandingkan PLTU berbahan bakar batu bara.
“PLTU di Inggris, China, India juga mulai beralih ke EBT. Maka kita harus bersiap dari sekarang,” tegasnya.
Hari mengakui, peralihan ini berpotensi menimbulkan persoalan baru, seperti pengurangan tenaga kerja sektor tambang, penurunan pendapatan warga, hingga berkurangnya pendapatan daerah.
“Kita siapkan konsep pemanfaatan lahan bekas tambang melalui sektor pertanian atau perkebunan seperti kopi dan kelapa. Meski upah berbeda, yang penting ada alternatif ekonomi agar masyarakat bisa bertahan hidup,” jelasnya.
Saat ini, batu bara menyumbang 15% PDRB Sumsel, 12% pendapatan daerah, dan menyerap 2,26% tenaga kerja.
Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Doddy S Sukadri, menilai transisi energi di Sumsel tidak bisa dilakukan secara instan.
“Sumsel memegang 36,78% cadangan batu bara nasional. Ketergantungan ini harus dilepaskan perlahan sambil mendorong transformasi ekonomi hijau,” katanya.
Menurutnya, pemerintah pusat juga serius mempercepat transisi energi melalui keputusan presiden. Namun, langkah ini membutuhkan sinergi banyak pihak untuk menyeimbangkan kepentingan lingkungan, sosial, dan ekonomi.
“Kita tidak hanya bicara soal daerah penghasil, tapi dampak global terhadap planet, manusia, dan profit (3P). Transisi energi ini keharusan,” tutupnya.