KETUA Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Habiburokhman menyebut revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP kemungkinan tak akan rampung pada masa sidang ini. Adapun masa sidang yang masih berlangsung bakal berakhir pada 2 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Politikus Partai Gerindra itu menilai penolakan dari masyarakat bisa menjadi penyebab molornya pengesahan RUU KUHAP. “Kalau tahun ini juga belum tentu, bisa 12 tahun lagi nih, bos. Kalau semakin banyak yang menolak, semakin lama,” ucap Habiburokhman seusai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Ia menyatakan bakal membuka ruang dialog dengan berbagai lembaga hingga organisasi yang menentang RUU KUHAP. “Pokoknya siapa pun organisasi yang menolak akan kami undang,” ujar Habiburokhman.
Ia menyebutkan Lokataru Foundation dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI sebagai contoh organsisai yang menolak RUU KUHAP. “Kalau mereka terus menolak dan semakin banyak yang menolak dan mempengaruhi pimpinan partai bahwa KUHAP lama ini harus terus dipertahankan, karena KUHAP barunya enggak bisa disahkan per 1 Januari 2026, apa yang akan terjadi? Nah itu pertanyaan saya juga,” kata dia.
Habiburokhman menekankan urgensi revisi KUHAP. Sebab, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang direvisi tahun 2023 lalu bakal berlaku pada Januari 2026. Dia mempertanyakan nasib hukum Indonesia apabila revisi KUHAP belum juga disahkan saat KUHP mulai berlaku.
Ia mengatakan parlemen belum akan mengesahkan RUU KUHAP menjadi undang-undang jika masih banyak gelombang penolakan dari publik. Habiburokhman lantas mengatakan, “Kalau ditolak terus, kami sahkan kan kami dianggap enggak demokratis. Benar enggak? Benar dong?”
Adapun revisi KUHAP akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah berlaku sekitar 44 tahun lamanya. Revisi KUHAP ini merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP ini menuai kritik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, misalnya, berulang kali menyuarakan ketidakpuasan mereka soal RUU KUHAP. Koalisi menilai revisi KUHAP masih minim partisipasi publik, dilakukan secara tergesa-gesa, hingga masih memuat sejumlah pasal bermasalah.
Sementara itu, Lokataru Foundation bersama masyarakat sipil dan mahasiswa dari berbagai wilayah di Tanah Air telah menyerahkan surat penolakan terhadap proses pembahasan RUU KUHAP kepada Komisi Hukum DPR.
Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan editor: Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta per Bulan, Puan: Sesuai Harga di Jakarta