
PENELITI dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia menyebut lembaga legislatif sedang menghadapi defisit akuntabilitas yang serius, baik dalam pengelolaan keuangan maupun dalam penyaluran aspirasi rakyat.
Yassar menilai kasus tunjangan rumah yang memicu kontroversi nasional pada 25 Agustus lalu dianggap sebagai momentum untuk menuntut reformasi menyeluruh pada lembaga DPR dan partai politik.
“Selama DPR dan partai politik tidak direformasi, kita akan terus melihat lembaga ini sebagai sarana kekuasaan dan kekayaan, bukan sebagai wakil rakyat,” kata dia dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (4/9).
Polemik mengenai kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang memicu kemarahan publik beberapa waktu lalu, dinilai hanya sebagai puncak dari gunung es dari persoalan yang lebih dalam dan sistemik di tubuh parlemen dan partai politik Indonesia.
“Permasalahannya bukan sekadar tunjangan rumah. Itu hanya permukaan dari krisis yang sudah mengakar lama di DPR dan partai politik. Intinya ada pada kegagalan reformasi politik sejak 1998,” kata Yassar.
Yassar menjelaskan bahwa sejak gelombang reformasi bergulir 26 tahun lalu, institusi seperti DPR dan partai politik nyaris tidak tersentuh reformasi struktural.
“Masalah yang terjadi pada (demonstrasi) 25 Agustus kemarin baru meledak karena tumpukan-tumpukan masalah yang kalau ditarik akarnya adalah persoalan reformasi yang belum pernah dilakukan pada institusi DPR dan partai politik,” jelasnya.
Ketiadaan pembenahan itu, kata Yassar memiliki konsekuensi yang tinggi karena partai politik adalah pintu masuk utama ke parlemen, sehingga buruknya pengelolaan di level partai turut berkontribusi terhadap carut-marut di DPR saat ini.
Yassar menilai permasalahan defisit akuntabilitas yang dihadapi DPR bukan soal oknum, melainkan sistem yang rusak dan tidak pernah direformaks dengan serius.
“Ini bukan soal kekeliruan dari satu anggota atau partai, tetapi dimungkinkan ada permasalahan yang sistemik, seperti bagaimana sistem kepartaian kita, pengelolaan dana politik di Indonesia diatur dan bagaimana sistem kepemiluan kita yang sampai saat ini belum banyak diubah,” ungkapnya.
Menurut Yassar, dampak dari tidak adanya reformasi ini juga dapat terlihat dari tidaknya ada oposisi nyata di DPR saat ini, sehingga fungsi kontrol dan keseimbangan kekuasaan lumpuh total.
Pendapatan DPR fantastis, transparansi rendah
ICW mengungkapkan bahwa pendapatan anggota DPR sangat besar namun dikelola dengan minim transparansi. Berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2025, anggota DPR diperkirakan menerima gaji dan tunjangan mencapai Rp239 juta per bulan.
“Selama ini masyarakat hanya tahu bahwa gaji anggota DPR sekitar Rp100 juta. Tapi dari dokumen anggaran resmi, totalnya bisa menyentuh Rp239 juta per bulan. Ini belum termasuk tunjangan dan fasilitas lainnya,” ungkap Yassar.
Angka tersebut dihitung berdasarkan total anggaran tahunan untuk gaji dan tunjangan DPR yang mencapai Rp1,6 triliun, dibagi dengan jumlah anggota sebanyak 580 orang.
Selain gaji bulanan, para anggota DPR juga menerima berbagai tunjangan lainnya, mulai dari dana reses, kunjungan kerja, komunikasi publik, hingga tunjangan rumah aspirasi.
Jika dikalkulasi secara keseluruhan, nilai total tunjangan ini bisa menambah ratusan juta rupiah lagi setiap bulannya.
“Ironisnya, dana sebesar itu tidak diikuti dengan laporan pertanggungjawaban yang transparan. Publik bahkan kesulitan mendapatkan dokumen resmi tentang penggunaan anggaran tersebut,” ujar Yassar. (Dev/I-1)