Liputan6.com, Jakarta Premier League tengah bersiap menghadapi perubahan besar. Dalam rapat yang dijadwalkan pada 21 November mendatang, 20 klub peserta liga akan memberikan suara terkait usulan penerapan salary cap atau batasan gaji baru, kebijakan yang memicu perdebatan sengit di antara para elite sepak bola Inggris.
Menurut laporan Daily Mail, rancangan aturan setebal 25 halaman telah dibagikan kepada seluruh klub. Sistem yang disebut sebagai “anchoring system” ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kompetitif di liga, dengan membatasi total pengeluaran skuad setiap klub, termasuk gaji pemain dan pelatih, biaya transfer yang dihitung berdasarkan durasi kontrak, serta bayaran agen.
Dalam rancangan itu, setiap klub hanya diizinkan mengeluarkan biaya maksimal sekitar lima kali lipat dari total pendapatan si klub peringkat terbawah dari hak siar dan hadiah uang. Dengan kata lain, tim-tim besar seperti Manchester City dan Manchester United tidak lagi bebas berbelanja besar seperti selama ini.
Selain itu, kebijakan ini akan berjalan beriringan dengan regulasi squad cost ratio, yang membatasi total pengeluaran hingga 85 persen dari pendapatan klub. Namun, banyak pihak menilai kebijakan baru ini justru berisiko merusak daya tarik Premier League sebagai liga paling kompetitif dan populer di dunia.
Man City dan Man United Menolak Keras
Manchester City dan Manchester United disebut sebagai dua klub yang paling menentang usulan tersebut. Mereka menilai, pembatasan belanja secara ekstrem bisa membuat liga Inggris kehilangan daya tarik bagi pemain top dunia seperti Erling Haaland atau Mohamed Salah, yang mungkin akan memilih bermain di Spanyol, Jerman, atau Prancis.
Sir Jim Ratcliffe, pemilik minoritas Manchester United, bahkan telah secara terbuka menentang ide itu. “Aturan ini akan menghambat klub-klub besar Premier League. Hal terakhir yang kita inginkan adalah ketika klub Inggris tidak lagi bisa bersaing dengan Real Madrid, Barcelona, Bayern Munich, atau PSG, itu absurd. Jika sampai terjadi, Premier League akan kehilangan statusnya sebagai liga terbaik di dunia,” ujar Ratcliffe.
Seorang eksekutif klub lain yang enggan disebut namanya juga menilai kebijakan ini bisa “membunuh status Premier League sebagai liga paling bergengsi, sekaligus menggerus pemasukan besar yang datang dari hak siar global.”
Potensi Masalah Finansial dan Hukum
Berdasarkan perhitungan musim 2023/24, batas pengeluaran yang diizinkan diperkirakan berada di kisaran £550 juta. Angka ini bisa membuat beberapa klub besar langsung berpotensi melanggar aturan keuangan jika diterapkan tanpa masa transisi.
Masalah lain muncul untuk klub yang terdegradasi. Jika pembatasan itu berlaku kelipatan lima, tim yang turun ke divisi Championship bisa langsung menyalahi batas gaji sekitar £40 juta hanya berdasarkan angka keuangan musim sebelumnya.
Rencana ini masih mungkin direvisi sebelum rapat November mendatang. Untuk disetujui, lebih dari dua pertiga klub harus memberikan suara mendukung. Namun, dengan munculnya penolakan keras dari klub besar serta asosiasi pemain (PFA) yang juga menentang kebijakan ini, jalan menuju implementasi tampak akan berlangsung panjang dan penuh perdebatan.
Jika benar diterapkan, aturan ini bisa menjadi momen penting dalam sejarah Premier League, antara menjaga keseimbangan kompetisi, atau justru mengorbankan daya tarik dan keunggulan finansial liga paling populer di dunia.
Sumber: Daily Mail