Pengusaha menilai tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bukan periode yang mudah bagi dunia usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani merasa tekanan sejumlah sektor usaha masih terasa kencang, meski banyak insentif telah digelontorkan.
“Cuma memang ini situasi yang tidak mudah, karena bukan hanya masalah domestik tapi juga eksternal seperti geopolitik,” ujar Shinta dalam gelaran 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Hotel JS Luwansa, Kamis (16/10).
Shinta menjelaskan, secara makro ekonomi, sejumlah indikator memang menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 5,12 persen, menurut dia posisi ini cukup baik, lalu kinerja industri dalam Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur sudah kembali ekspansi atau di atas level 50, investasi meningkat, dan neraca perdagangan masih mencatat surplus.
Namun terjadi penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September 2025 adalah ke angka 115, turun dari 117,2 pada bulan sebelumnya. Shinta melihat ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat mulai melemah, terutama di kelas menengah.
“Kalau kita lihat, yang sedang melemah itu justru kelas menengah. Artinya target insentif sebaiknya diarahkan ke kelompok ini supaya daya beli mereka bisa meningkat lagi,” imbuh Shinta.
Selain daya beli yang terpukul, Shinta juga mengaku mendapat laporan dari pengusaha sektor padat karya yang mengaku masih menghadapi tekanan berat.
Sektor tekstil dan garmen, misalnya, mencatat penurunan permintaan hingga 20 persen. Sektor furnitur turun 10–20 persen, otomotif sekitar 9 persen, dan permintaan di sektor properti bahkan melemah hingga 40 persen.
“Walaupun sudah banyak perbaikan, tekanan di lapangan masih terasa. Jadi ini bukan perjalanan yang mudah,” ujarnya.
Menurut Shinta, pemerintah perlu menyeimbangkan langkah dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply, deregulasi dan perbaikan perizinan sudah mulai terlihat, tetapi dampaknya belum signifikan.
“Kadang deregulasi tidak langsung bisa terasa karena banyak faktor. Contohnya impor, sudah ada perbaikan regulasi tapi banjir impor tidak serta merta berhenti,” kata dia.
Selain itu, Shinta juga memandang tingginya high cost economy yang masih menjadi beban utama pelaku usaha, baik besar maupun UMKM. Beberapa cost yang menjadi beban pengusaha antara lain biaya logistik, suku bunga pinjaman, dan harga gas masih tinggi dibanding negara tetangga.
“UMKM pun kena dampaknya. Ditambah lagi biaya tak terukur seperti lamanya proses perizinan atau sertifikasi. Itu semua sebenarnya biaya,” jelasnya.
Kemudian pemerintah juga dipandang masih memiliki pekerjaan rumah untuk membenahi birokrasi yang lamban dan mahal menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
“Kalau ditanya sudah ada perbaikan? Pasti sudah. Tapi ini proses yang tidak bisa cepat. Yang penting setiap regulasi baru harus punya impact assessment, supaya tidak menambah beban baru di lapangan,” tutupnya.