Jakarta (ANTARA) - Kota Surabaya menjadi saksi sejarah perjuangan panjang arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajahan. Berbagai peristiwa heroik dan pertumpahan darah yang terjadi demi meraih kemerdekaan di Kota Pahlawan ini telah meninggalkan warisan bersejarah, salah satunya berupa bangunan-bangunan cagar budaya peninggalan masa kolonial.
Warisan sejarah tersebut kini tercermin dalam lebih dari 200 situs cagar budaya yang tersebar di Surabaya. Salah satunya adalah Gedung Grahadi yang berlokasi di Jln. Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Didirikan sejak tahun 1795, menjadikan Gedung Grahadi sebagai salah satu bangunan tertua di Surabaya. Nama “Grahadi” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti rumah indah. Hal ini merepresentasikan kemegahan dan fungsinya sebagai tempat tinggal orang-orang penting seperti pejabat tinggi kolonial Belanda.
Penghuni pertama Grahadi adalah Dirk van Hogendoorp, penguasa wilayah Jawa Timur pada saat itu. Kemudian, pada 1799-1809, gedung ini dihuni oleh Fredrik Jacob Rothenbuhler.
Dirancang oleh arsitek Ir. W. Lemci, desain bangunan ini mengusung konsep tuinhuis— rumah yang dikelilingi taman bunga. Gaya arsitektunya merupakan kombinasi rumah taman Eropa dengan sentuhan Oud Hollandstijl (model belanda kuno). Gedung Negara Grahadi dibangun menghadap sungai Kalimas sehingga pada sore hari penghuninya dapat menikmati teh sembari melihat perahu-perahu yang berlalu lalang.
Baca juga: Sisi barat Gedung Negara Grahadi Surabaya dibakar massa
Pada 1810, di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, gedung ini direvitalisasi menjadi empire style atau Dutch Collonial Villa. Revitalisasi tersebut dilakukan sebab Daendels menilai desain awalnya kurang megah sehingga ingin mengubahnya seperti istana atau menyerupai kediaman bangsawan Prancis.
Ciri khas desain ini dapat terlihat dari denahnya yang berbentuk simetris. Bentuk ini menghadirkan ruang utama di bagian tengah bangunan, yang mencakup kamar tidur utama serta kamar-kamar tidur lainnya. Seluruh ruang tersebut terhubung langsung dengan teras di bagian depan dan belakang bangunan. Selain perubahan arsitektur, orientasi bangunan juga diubah menjadi menghadap jalan raya, tidak lagi ke arah sungai.
Saat kependudukan Jepang pada 1942-1945, Gedung Grahadi menjadi rumah singgah Gubernur Jepang sekaligus ruang sidang Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi). Selain itu, menjadi lokasi untuk berbagai acara resmi, termasuk pesta dansa para elite militer penjajah.
Baca juga: Polda Jatim taksir kerugian akibat aksi anarkis capai Rp124 miliar
Pasca kemerdekaan Indonesia, Gedung Grahadi berfungsi sebagai kantor serta rumah dinas Gubernur Jawa Timur hingga saat ini. R.T. Soerjo merupakan Gubernur Jawa Timur pertama yang menempati gedung ini pada 1946-1948.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, Presiden ke-7 Indonesia, bangunan sayap kanan atau bagian utama Gedung Grahadi digunakan sebagai Ruang Presiden. Ruang ini digunakan untuk mendukung kunjungan kerja Presiden, sekaligus menjadi tempat menginap saat melakukan perjalanan dinas ke Surabaya dan sekitarnya.
Kemudian, Gedung Grahadi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tingkat provinsi pada 2023 dan direncanakan untuk naik ke peringkat nasional.
Sebagai saksi bisu perjalanan sejarah bangsa, Gedung Grahadi merupakan simbol penting dan pengingat akan dinamika perjuangan yang membentuk Kota Surabaya saat ini. Oleh karena itu, keberadaan bangunan cagar budaya ini perlu dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama demi warisan sejarah generasi mendatang, demikian merangkum dari berbagai sumber.
Baca juga: Khofifah prihatin pembakaran Gedung Negara Grahadi oleh massa aksi
Pewarta: Nadine Laysa Amalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.