Mahasiswi salah satu universitas Islam di Gaza, Maha Ali (26), meratapi nasib yang berkata lain baginya. Ia merelakan ambisinya, bukan karena terlalu besar, melainkan karena saat ini tak ada yang jauh lebih berharga dibandingkan bisa makan.
Ali tinggal di tempat pengungsian yang merupakan reruntuhan bangunan tempat dirinya sempat merasakan bangku kuliah.
Ia mengaku, bila perang tak berkecamuk, akan menjadi seorang jurnalis. Sebuah ambisi yang kemudian ia dan mahasiswa Gaza lainnya harus relakan demi bertahan hidup di tengah kelaparan yang sengaja diciptakan di daerah tempat tinggalnya oleh Israel.
"Kami sudah lama mengatakan bahwa kami ingin hidup, kami ingin mengenyam pendidikan, kami ingin bepergian. Sekarang, kami mengatakan bahwa kami ingin makan," kata Ali mengutip Reuters, Selasa (12/8).
Ali tidak sendiri, sejak serangan 7 Oktober dua tahun lalu, perang telah menghancurkan sekitar 90 persen institusi pendidikan.
Mahasiswi lain, Yasmine al-Za'aneen (19), mengaku hanya bisa mengenang masa-masa saat ia tenggelam dalam buku-buku pelajaran yang dipelajari sebelum perang. Mimpi sederhananya seperti dapat merasakan pengalaman menggantikan lampu meja bekerja miliknya sendiri harus dibuangnya jauh-jauh.
"Karena perang, semuanya terhenti. Maksud saya, semua yang telah saya bangun, semua yang telah saya lakukan, lenyap dalam hitungan detik," katanya sambil memilah buku-buku yang selamat di tenda pengungsian.
Kesedihan dan rasa penyesalan itu tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Saja Adwan (19). Saat masih berada di bangku pendidikan tinggi, ia didapuk sebagai mahasiswa berprestasi oleh kampusnya Institut Azhar Gaza.
Namun kini, penghargaan dan harapan akan masa depan yang cerah itu kini sirnah. Ia mengaku kini semuanya sia-sia dan ruang-ruang kelas tempatnya bersinar itu kini hanya sekadar kenangan.
"Semua kenangan saya ada di sana, ambisi saya, tujuan saya. Saya sedang meraih mimpi di sana. Itu adalah kehidupan bagi saya. Ketika saya dulu bersekolah di institut itu, saya merasa nyaman secara psikologis," katanya di ruang-ruang kelas yang berubah menjadi tempat penampungan.
Infrastruktur pendidikan di Gaza hancur
Sejak serangan 7 Oktober 2023, Menteri Pendidikan Palestina Amjad Barham menuduh Israel menghancurkan secara sistematis sekolah dan universitas di Gaza. Kini, 293 dari 307 sekolah dan kampus hancyr seluruhnya atau sebagian.
"Dengan ini, pendudukan ingin membunuh harapan putra-putri kami," ujarnya.
Tak ada komentar dari Kemlu Israel atas pernyataan itu. Namun, dalih Israel menghancurkan sekolah dan universitas adalah karena menjadi area yang disusupi Hamas.
Hamas telah membantah tuduhan itu. Kelompok penguasa Gaza itu balik menuding Israel melakukan serangan tanpa pandang bulu ke Gaza.
Laporan PBB menyatakan, menurut penilaian kerusakan berbasis satelit terbaru pada bulan Juli, 97% fasilitas pendidikan di Gaza mengalami kerusakan, dengan 91% membutuhkan perbaikan besar atau rekonstruksi lengkap agar dapat berfungsi kembali.