Seratus hari wafatnya KH Muhammad Imam Aziz, seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang juga Dewan Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta, diperingati dengan peluncuran dua buku dan temu sahabat bertajuk “Launching dan Diskusi Buku: Mengenang KH Imam Aziz” di Pesantren Bumi Cendekia, Gombang, Sleman, Jumat (17/10).
Acara ini menjadi ruang pertemuan bagi para sahabat, murid, dan kolega untuk mengenang pemikiran serta keteladanan pendiri LKiS tersebut.
Dua buku yang diluncurkan berjudul “Jejak Kiai Rakjat (KH Imam Aziz dalam Kenangan)” dan “Sik Apik Dianggo, Sik Elek Diguang (Teologi Rekonsiliasi Gerakan Sosial dan NU Masa Depan)”.
Buku pertama berisi tulisan kenangan dari para sahabat, murid, dan keluarga, sementara buku kedua merupakan kumpulan karya Imam Aziz sejak masa muda hingga akhir hayat.
“Ketika seratus hari beliau wafat, banyak sekali tulisan kenangan bertebaran di media sosial. Dari situ kami merasa penting untuk mengumpulkannya agar tak hilang begitu saja,” ujar Heru Prasetia, penyunting buku sekaligus murid KH Imam Aziz, Jumat (17/10).
Menurut Heru, kedua buku itu menjadi dokumentasi penting bagi generasi muda untuk memahami cara berpikir dan semangat kebangsaan almarhum.
“Kalau ingin mengenal Mas Imam secara utuh, dua buku ini bisa jadi pintu awal,” tambahnya.
Penjembatan Tradisi dan Modernitas
Dalam sesi diskusi, I Made Supriatma, sahabat lama sekaligus antropolog, menyebut KH Imam Aziz sebagai sosok yang mampu menjembatani tradisi dan modernitas tanpa kehilangan akar.
“Mas Imam mencintai tradisi bukan untuk dipertahankan secara kaku, tetapi dijadikan sumber inspirasi agar kita bisa menjadi modern tanpa tercerabut dari akar,” katanya.
Ia menilai Imam Aziz sebagai figur moral yang gelisah setiap melihat ketidakadilan.
“Mas Imam itu tampak kalem, tapi di dalamnya ada inti nilai yang kokoh, moralitas yang tidak tergoyahkan,” ucapnya.
Arif Aris Mundayat, pakar antropologi dan dosen Universitas Sebelas Maret (UNS), menyebut karya Imam Aziz sebagai bentuk manifesto moral seorang ulama yang menulis dengan hati.
“Beliau menulis bukan sekadar refleksi intelektual, tetapi dari kedalaman hati,” ujarnya.
Menurut Aris, Imam Aziz menawarkan gagasan teologi rekonsiliasi—pendekatan moral untuk menyembuhkan luka sejarah dan sosial bangsa.
“Mas Imam mengajak kita membangun rekonsiliasi berbasis hati dan kemanusiaan, bukan semata politik,” katanya.
Pemikiran Membumi dan Tak Mengejar Panggung
Dari kalangan Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid, Direktur Jaringan Gusdurian, mengenang Imam Aziz sebagai sosok yang tidak ...