Liputan6.com, Jakarta Salah satu topik panas dalam industri musik Indonesia belakangan adalah royalti lagu. Urusan royalti lagu tak hanya saat penyanyi tampil dalam konser atau acara komersial tapi menjalar ke penggunaan lagu di kafe, restoran, atau lingkungan bisnis.
Contoh kasus terbaru, dugaan pelanggaran royalti lagu restoran mi yang berakhir damai dengan bayar Rp2,2 miliar ke Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia untuk penggunaan musik dan atau lagu periode 2022 hingga Desember 2025.
Rp2,2 miliar jelas tidak kecil. Publik pun bertanya, apa royalti lagu untuk lingkungan bisnis memang semahal itu? Pemilik usaha dari hotel hingga restoran, lalu sering membandingkan tarif layanan komersial dengan langganan musik pribadi via Spotify atau Apple Music.
Pertanyaan ini muncul dari kesalahpahaman fungsi dan regulasi musik di ruang publik. Mendengar musik secara pribadi di rumah untuk hiburan tidak memiliki implikasi hukum atau komersial yang kompleks. Ini beda dengan memutar musik di lingkungan bisnis.
Penggunaan musik di tempat usaha memiliki dimensi strategis dan teknis lebih dalam. Musik di tempat usaha merupakan bagian dari interaksi dengan pelanggan dan secara tak langsung memengaruhi perilaku konsumen, seperti durasi kunjungan atau alur belanja.
Biaya Layanan Musik Komersial
Biaya layanan musik komersial tak hanya mencakup “ongkos putar lagu.” Secara global, harga yang dipatok para penyedia layanan mencerminkan investasi besar dalam infrastruktur dan operasional serta menyentuh penanganan aspek teknis hingga legal.
Sebagai contoh, di Jepang, USEN Music menawarkan tarif mulai dari Rp800.000 hingga Rp1,3 juta per bulan, sementara di Amerika Serikat, Mood Media berada di posisi premium dengan biaya antara Rp815.000 hingga lebih dari Rp1,3 juta per bulan.
Dengan informasi transparan mengenai struktur biaya dan layanan yang ditawarkan, pelaku usaha diharapkan dapat melihat musik bukan lagi sebagai pengeluaran semata atau biaya tambahan, melainkan investasi strategi untuk bisnis.
Ada banyak penyedia layanan musik komersial, salah satunya Velodiva, yang mulai aktif mengedukasi pasar maupun masyarkaat. VP Business and Marketing Velodiva, Rudi, berbagi pandangan terkait royalti lagu untuk lingkungan bisnis.
Di Restoran, Musik Memengaruhi Mood
Dalam wawancara tertulis dengan Showbiz Liputan6.com, Sabtu (9/8/2025), Rudi menyebut, musik bukan sekadar suara latar yang menemani pelanggan makan di restoran bareng orang tersayang atau ngopi-ngopi cantik bareng bestie di kafe yang fancy.
“Di restoran, musik memengaruhi mood (suasana hati) pelanggan dan durasi kunjungan,” katanya. “Di toko ritel, musik bisa mempercepat atau memperlambat alur belanja. Di hotel, musik membentuk kesan pertama tamu,” Rudi menambahkan.
“(Musik) ini bagian strategi bisnis. Ia sama pentingnya dengan desain interior atau pelayanan pelanggan,” Rudi mengingatkan. Biaya untuk musik di lingkungan bisnis rupanya mencakup berbagai layanan esensial, misalnya manajemen katalog musik yang luas.
Selain itu, pembaruan konten berkala untuk menjaga koleksi tetap segar, hingga pelaporan penggunaan musik yang akurat untuk pembayaran royalti ke para pencipta lagu maupun musisi. Biaya ini juga dipakai untuk teknologi distribusi audio yang andal dan lain-lain.
Mendorong Kepatuhan Hukum
Rudi menggarisbawahi, semua elemen ini penting untuk memastikan operasional legal dan efisien, jauh melampaui yang ditawarkan layanan streaming pribadi. Struktur harga yang beragam menunjukkan adanya model bisnis yang berbeda-beda.
Setelahnya, Rudi mencontohkan, Velodiva yang mematok harga kompetitif, dari Rp 300.000 per titik per bulan sebelum pajak sekaligus memosisikan diri sebagai penyedia jasa musik komersial paling terjangkau jika dibandingkan dengan para pemain global.
“Model bisnis unik ini bertujuan memberi akses terhadap layanan musik legal berkualitas tinggi, tanpa membebani pelaku usaha dengan biaya yang setara dengan di Jepang, Eropa, atau Amerika Serikat,” papar Rudi panjang.
Untuk mencapai harga kompetitif, Velodiva mengoptimalisasi sistem secara khusus untuk kondisi pasar di Indonesia. Mereka membangun sistem yang standarnya setara dengan para pesaing global, namun level efisiensinya lebih tinggi.
Strategi ini memungkinkan mereka menyediakan fitur-fitur penting seperti manajemen konten musik, pelaporan royalti, dan dukungan teknis solid. “Ini strategi untuk memperluas penetrasi pasar dan mendorong kepatuhan hukum di kalangan pelaku usaha,” pungkasnya.