Liputan6.com, Jakarta Musim panas lalu, publik Giuseppe Meazza sempat menahan napas ketika Inter Milan menunjuk Cristian Chivu sebagai pelatih kepala menggantikan Simone Inzaghi. Banyak yang menilai keputusan itu terlalu berani, bahkan sebagian menganggapnya nekat. Namun, hanya dalam hitungan bulan, keraguan itu berbalik menjadi pujian.
Chivu, yang baru berusia 44 tahun, mewarisi skuad yang kehilangan kepercayaan diri setelah kekalahan telak di final Liga Champions musim lalu. Akan tetapi, pelatih asal Rumania itu mampu mengembalikan semangat di ruang ganti dan menanamkan gaya bermain yang lebih agresif dan efektif.
Kini, Inter tampil dengan karakter baru — berani menekan lawan sejak awal dan cepat merebut kembali penguasaan bola begitu kehilangan. Perubahan ini membuat mereka tampak hidup kembali di setiap laga.
Bukan hanya para penggemar yang terpukau, salah satu pelatih legendaris Italia, Fabio Capello, turut mengakui sentuhan magis Chivu. Dalam wawancaranya dengan Gazzetta dello Sport, Capello memuji pendekatan taktis dan kemampuan psikologis sang pelatih dalam membentuk tim.
Menjelang duel melawan AS Roma di Serie A akhir pekan ini, pujian Capello menjadi penanda bahwa Chivu bukan sekadar pelatih muda yang beruntung. Ia adalah sosok yang sedang membangun babak baru dalam sejarah Inter Milan.
Inter: Dari Kekalahan Menuju Kebangkitan
Ketika Chivu mengambil alih posisi dari Inzaghi, banyak pihak menganggap Inter sedang berada di titik nadir. Kekalahan di final Liga Champions menjadi luka yang belum sembuh. Namun, dalam waktu singkat, Chivu berhasil mengubah rasa kecewa itu menjadi motivasi.
“Chivu bergerak ke arah yang mirip dengan Gian Piero Gasperini, tetapi tidak seekstrem itu,” ujar Capello. “Tekanan tinggi dan perebutan bola secepat mungkin memungkinkan Inter menciptakan keunggulan di lini serang segera setelah mereka merebut bola kembali. Namun, secara defensif, timnya lebih aman.”
Inter kini tampil dengan keseimbangan yang lebih baik. Serangan mereka tajam, tetapi pertahanan tidak kehilangan kedisiplinan. Filosofi Chivu sederhana: menyerang tanpa melupakan struktur. Dalam konteks inilah Inter seperti terlahir kembali — tim yang lapar, dinamis, dan efisien.
Chivu di Inter Milan, Capello di AC Milan
Bagi Capello, apa yang dilakukan Chivu bukan sekadar perubahan taktik. Ia melihat kesamaan antara dirinya dan pelatih asal Rumania itu dalam cara menghadapi tantangan besar di usia muda.
“Banyak yang menganggap pilihan Inter sebagai taruhan berisiko, tapi bukan saya,” ujar Capello. “Karena kualitas tertentu tidak memerlukan masa magang panjang. Dalam hal ini, saya melihat diri saya pada Chivu.”
Capello mengenang bagaimana dirinya dulu menghadapi situasi serupa ketika dipercaya melatih AC Milan dengan pengalaman terbatas. Ia melihat refleksi perjalanan itu pada Chivu. “Dua hal mendasar harus dimiliki pelatih top. Pertama, ubah taktik sesuai kebutuhan tanpa berlebihan. Kedua, kerja keras membangun mentalitas pemain dan meyakinkan mereka bahwa siklus Inter belum berakhir,” katanya.
Ucapan Capello itu menggambarkan bagaimana Chivu menyentuh sisi emosional timnya. Ia tak melakukan revolusi, melainkan evolusi — memperbaiki yang rusak tanpa merusak yang sudah baik.
Validasi atas Kepemimpinan Chivu
Dalam ruang ganti Inter, Chivu juga berhasil menciptakan suasana saling menghormati antara pemain dan pelatih. Capello menilai hal ini sebagai kunci utama kebangkitan tim.
“Saya membaca kata-kata Mkhitaryan di Gazzetta,” kata Capello. “Mengetahui susunan pemain tiga jam sebelum pertandingan bukan sesuatu yang harus disukai atau tidak disukai, itu harus diterima. Ini contoh sempurna pelatih yang mendapatkan respons tepat dari tim karena ia menekan tombol yang benar.”
Capello menambahkan, “Itu adalah rasa hormat terhadap pekerjaan, dan tampaknya di Inter-nya Chivu, hal itu tidak kurang.”
Kata-kata itu menjadi validasi atas kepemimpinan Chivu. Ia bukan hanya pelatih dengan taktik matang, tetapi juga manajer yang memahami manusia di balik setiap seragam biru-hitam.