Liputan6.com, Jakarta - Pengelolaan sampah plastik kini berada pada titik kritis. Jika penumpukan sampah terus berlangsung tanpa pemilahan, bukan hanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terancam penuh, lingkungan juga berisiko menjadi sarang penyakit.
"Tahun 2029 targetnya 100 persen sampah kita harus diambil. Kalau tidak, kita akan menghadapi lingkungan yang tidak sehat, penuh dengan ‘nyakit-nyakit’ akibat sampah," ujar Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Rusly, S.PI., M.Si.
Saat ini, hanya sekitar 10 persen rumah tangga di Indonesia yang rutin mengelola sampah-nya. Kondisi ini mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat, padahal lingkungan kotor dapat memicu penyakit menular seperti diare, demam berdarah, hingga infeksi saluran pernapasan.
Agus menekankan perlunya partisipasi aktif semua pihak, baik masyarakat maupun industri. Tanpa kolaborasi, masalah sampah plastik akan semakin kompleks, dan risiko kesehatan masyarakat semakin meningkat.
Lingkungan Kotor Jadi Sarang Penyakit
Lingkungan yang dipenuhi sampah plastik menjadi lahan subur bagi berbagai penyakit karena menjadi tempat berkembang biaknya kuman dan bakteri.
"Kalau sampah masih tercampur, apalagi menumpuk, itu bukan hanya soal estetika. Itu sarang nyamuk, lalat, dan bakteri. Dari situ bisa timbul diare, DBD, infeksi kulit, hingga ISPA. Jadi jelas, sampah bukan hanya urusan lingkungan, tapi juga urusan kesehatan kita semua," kata Agus.
Target pengangkutan sampah 100 persen pada 2029 memang ambisius. Namun, keberhasilan dimulai dari kesadaran masyarakat untuk memilah sampah sejak dari rumah. Berdasarkan evaluasi, baru sekitar 10 persen masyarakat yang konsisten memilah sampah di rumah.
"Coba lihat, siapa yang sudah rutin pisahkan sampah? Hanya segelintir. Padahal, kalau sampah organik dan plastik bernilai rendah dibiarkan tercampur, risiko penyakit meningkat. Bau menyengat, pencemaran air, bahkan mikroba berbahaya bisa muncul," tambah Agus.
Rendahnya Kesadaran Rumah Tangga
Dia, menekankan, masalah kesehatan akan terus memburuk jika pola hidup bersih dan sehat tidak diikuti dengan pengelolaan sampah yang baik.
"Jangan tunggu sakit dulu, baru sadar pentingnya buang sampah dengan benar," katanya.
Meski perundingan Global Plastic Treaty belum menghasilkan konsensus, pemerintah tetap melanjutkan agenda nasional pengurangan plastik.
"With or without global treaty, Indonesia tetap berkomitmen mengurangi sampah plastik. Ini menyangkut kesehatan masyarakat kita sendiri. Kalau plastik terus menumpuk, dampaknya bukan hanya pencemaran, tapi juga penyakit menular yang membebani keluarga dan sistem kesehatan," ujar Agus.
Dia, menegaskan, kerja sama lintas sektor, pemerintah, industri, hingga komunitas, harus diperkuat untuk mencegah krisis kesehatan akibat sampah.