
Yogyakarta menyimpan banyak potensi pariwisata yang menarik untuk dikembangkan. Selain wisata budaya dan juga panorama alamnya, desa wisata menyimpan potensi pariwisata yang besar.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan setidaknya ada lebih dari 240 desa wisata dan kampung wisata yang tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Potensi besar ini tak hanya menjadi wajah pariwisata daerah, tetapi juga ruang hidup budaya dan ekonomi masyarakat.

Untuk itu, Keraton Yogyakarta bersama Dinas Pariwisata, Badan Promosi Pariwisata Daerah DIY (BPPD DIY) serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mendorong desa wisata agar bisa “naik kelas”.
Setiap tahun, tim gabungan yang terdiri dari akademisi, media, pelaku industri, hingga influencer melakukan penjurian ke sejumlah desa wisata. Proses ini tak sekadar menilai dari jauh, tetapi juga dengan tinggal selama 24 jam di desa untuk merasakan langsung pengalaman wisata yang ditawarkan.
“Penilaiannya meliputi banyak aspek, mulai dari paket wisata, kebersihan kamar, hingga apakah produk wisata layak dijual ke industri. Jadi bukan hanya soal atraksi, tapi juga kualitas pengalaman yang ditawarkan,” ujar Gusti Bendara saat ditemui kumparan di Kawasan Keraton Yogyakarta belum lama ini.

Pendampingan ini telah berjalan beberapa tahun terakhir dengan tema berbeda setiap tahunnya. Pada tahap awal, fokusnya adalah perbaikan paket wisata dan standar layanan dasar.
Tahun berikutnya, perhatian diberikan pada storytelling dan strategi pemasaran. Kini, tantangan yang dihadapi desa wisata adalah kemampuan membuat konten digital--mulai dari video singkat untuk media sosial hingga materi promosi untuk situs web-.

Kulonprogo menjadi salah satu contoh kabupaten yang konsisten melakukan pendampingan. Tahun ini saja, ada 28 desa wisata di wilayah tersebut yang ikut serta dalam program kurasi.
Upaya ini terbukti berhasil, karena Kulonprogo menjadi satu-satunya kabupaten di Indonesia yang empat tahun berturut-turut meraih penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI), salah satu program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Selain memberikan masukan teknis, tim penilai juga mendorong masyarakat desa wisata untuk lebih percaya diri mempresentasikan produk mereka dalam forum business to consumer (B2C) maupun business to business (B2B). Hal ini dianggap penting agar desa wisata tak hanya menjadi tujuan rekreasi, tetapi juga mampu bersaing dalam industri pariwisata yang lebih luas.
“Banyak pengelola desa wisata yang sehari-harinya bukan orang pariwisata, ada yang guru, ada yang bekerja di bidang lain. Tapi ketika diminta presentasi tentang desa wisatanya, mereka belajar untuk berbicara di depan publik dan menawarkan produknya. Itu bagian dari proses naik kelas,” tambahnya.
Dengan pendampingan berkelanjutan ini, desa wisata di Yogyakarta diharapkan tak hanya menjadi tujuan kunjungan wisatawan, tetapi juga pusat pemberdayaan masyarakat lokal yang berdaya saing, kreatif, dan berkelanjutan.