Selama kurang lebih tiga hari, negeri yang identik dengan pura dan berbagai kisah dewata itu diterjang banjir destruktif. Melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah menetapkan status tanggap darurat di seantero negeri. Hingga Jumat, 11 September 2025, tercatat setidaknya ada 16 korban jiwa dan lebih dari 500 orang terpaksa meninggalkan kediaman mereka.
Warganet beramai-ramai menyampaikan belasungkawa atas apa yang menimpa saudara setanah air mereka. Banyak akun mengangkat dokumentasi dengan berbagai gradasi. Tagar #prayforbali lekas menggema di media sosial, beriringan dengan kritik terhadap pemerintah serta kondisi tata ruang Bali yang katanya sudah "sempit".
Pada 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah menyuarakan keprihatinan terhadap alih fungsi lahan yang terjadi di Bali. Mereka mendapati bahwa Bali, setidaknya, "menyempit" karena kehilangan 1.000-2.000 hektar lahan (semisal sawah dan lahan hijau lain) setiap tahunnya. Tempat yang seharusnya menjadi area resapan air tersebut justru digantikan dengan beton-beton hotel, villa, restoran, dan sejenisnya. Akibatnya, air tidak tertampung dan cenderung jadi limpasan.
Keberadaan infrastruktur pariwisata tersebut memang mendongkrak perekonomian negeri secara signifikan. Survei Bank Indonesia menunjukkan sektor pariwisata mendominasi pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2023 yakni mencapai sekitar 54,64% sebagai andil dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi Bali. Bahkan, Bali disebut menyumbang hampir 50% dari total devisa pariwisata Indonesia.
Sayang seribu sayang, Bali cenderung dilihat sebagai objek eksotis semata. Banjir yang baru-baru ini menjadi tragedi merupakan tanda bahwa kita terlalu sibuk memikirkan fulus, pelancong, pengusaha, dan investor, ketimbang nasib jangka panjang masyarakat sendiri. Kita lebih sibuk mempercantik citra pulau dan mengabaikan realitas yang sesungguhnya: tergerusnya lingkungan hidup dan tersisihkannya hak masyarakat lokal.
Tatapan yang Membingkai Bali
Gambaran Bali di paras dunia cenderung "tidak sebagaimana adanya". Ia dibingkai sebagai surga yang wajib dikunjungi oleh siapa pun. Bentang alam yang kaya dan budaya yang terawat disajikan melalui iklan dan brosur-brosur komersial. Bali pun menjadi seperti hidangan yang hanya memuaskan tamu. Apa yang terjadi di Bali dapat dipahami dengan kerangka colonial gaze.
Colonial gaze 'tatapan kolonial' merupakan konsep yang menggambarkan bagaimana suatu negeri dan penduduknya dilihat dari sudut pandang kolonial. Konsep yang banyak dibicarakan dalam tradisi poskolonial ini menggambarkan bahwa pihak kolonial kerap memosisikan negeri koloni atau jajahannya sebagai entitas yang primitif, mistik, dan, tidak rasional, tetapi eksotis atau bernilai khusus (indah, unik, jarang, dan semisalnya). Negeri itu pun dianggap memiliki potensi untuk memenuhi kepentingan mereka.
Kepentingan tersebut bukan sembarang kepentingan. Pihak kolonial senantiasa membungkusnya dengan narasi "penyelamatan". Karena mereka melihat negeri koloni sebagai pihak primitif, mistik, dan tidak rasional, mereka pun tampil seolah-olah sebagai pembawa keselamatan seperti perkembangan infrastruktur dan kesejahteraan jangka panjang. Padahal, mereka justru memeras sumber daya negeri tersebut untuk diri mereka sendiri dan mengabaikan hak penduduknya.
Dalam konteks ini, meski penjajahan di Indonesia telah usai secara literal, Bali merupakan contoh eksplisit bagaimana colonial gaze masih bekerja. Bali yang kaya akan budaya dan bentang alam yang khas dianggap harus "diselamatkan" karena keeksotisan itu. Narasi tambahan seperti isu ekonomi daerah, pembangunan nasional, dan kebutuhan atau kelayakan untuk go international pun digaungkan. Jika tidak, Bali bisa dianggap tertinggal atau menyia-nyiakan potensi yang dimiliki.
Apa maksudnya? Maksudnya adalah Bali dipromosikan melalui sudut pandang kolonial, seolah-olah harus dikembangkan agar sesuai dengan standar estetika atau model bisnis yang mendominasi cara pandang global. Cara ini membuat budaya dan alam Bali dijadikan komoditas untuk memenuhi kebutuhan pariwisata internasional. Kasarnya: objek konsumsi dan objek atraksi. Masyarakat lokal pun sering hilang kendali atas narasi pembangunan dan sumber daya mereka sendiri.
Di sinilah titik mula eksploitasi terhadap Pulau Seribu Pura itu muncul. Dengan dalih potensi wisata, para pengusaha dan investor yang notabene lebih ber- Read Entire Article