Artikel The Straits Times "From Indonesia to Nepal, anime pirate flag has become symbol of Asian Gen Z’s discontent" yang ditulis oleh Hariz Baharudin, pada 11 September 2025, menyoroti fenomena unik: bendera bajak laut dari anime One Piece yang berubah menjadi ikon protes anak muda lintas negara. Dari Jakarta hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Prancis, bendera ini bukan sekadar simbol hiburan, melainkan bendera perlawanan terhadap ketidakadilan, korupsi, dan otoritarianisme.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana Generasi Z (Gen Z) memadukan budaya populer dengan aspirasi politik. Jika generasi sebelumnya mengandalkan jargon ideologi atau simbol politik klasik, Gen Z memilih sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka, yaitu anime. Pilihan ini bukan sekadar kebetulan, melainkan cara baru untuk membangun identitas politik di era digital.
Sosiolog Manuel Castells dalam teorinya tentang network society menyebut bahwa identitas kolektif kini lahir dari interaksi jaringan global, terutama melalui media digital. Bendera One Piece menjadi bukti nyata teori ini. Sebab, makna simbol itu lahir bukan dari konteks Jepang semata, melainkan dari penggunaannya di ruang digital global yang kemudian diadaptasi untuk perlawanan politik lokal.
Kasus di Indonesia memperlihatkan betapa cepat simbol ini mendapat tempat. Dari aksi sopir truk hingga protes mahasiswa, hingga akhirnya tragedi Affan Kurniawan yang meninggal karena kendaraan polisi, bendera itu menjelma sebagai representasi penderitaan sekaligus tekad melawan. Dalam hitungan minggu, ia merambah ke Nepal, membawa semangat yang sama: lawan korupsi, tuntut keadilan.
Di Nepal, bendera tersebut hadir dalam demonstrasi yang akhirnya menjatuhkan Perdana Menteri K.P. Sharma Oli. Ini membuktikan bahwa simbol populer bisa menyalakan api politik besar. Gen Z Nepal belajar langsung dari Jakarta: bahwa protes mereka tidak sendiri, ada resonansi internasional yang memberi mereka semangat.
Sementara di Filipina, simbol ini muncul dalam aksi antikorupsi di Universitas Filipina Diliman. Aksi yang awalnya kampus-sentris, menjadi bagian dari narasi regional tentang perlawanan generasi muda Asia terhadap rezim yang dianggap menindas.
Tidak hanya Asia, Prancis juga ikut mengadopsi simbol ini. Para demonstran yang menentang kebijakan Presiden Emmanuel Macron terlihat mengibarkan bendera dengan gambar tengkorak topi jerami. Artinya, simbol ini telah menyeberang bahasa, budaya, dan benua.
Dari perspektif sosiologis, fenomena ini menunjukkan dinamika glocalization: sesuatu yang lahir dari budaya populer global—dalam hal ini One Piece—diadaptasi untuk kepentingan lokal seperti protes politik. Maka, bendera ini bukan lagi sekadar properti anime, melainkan instrumen artikulasi politik generasi muda.
Bagi Gen Z, bendera One Piece mewakili idealisme tentang kebebasan, kesetiaan, dan keberanian melawan otoritas yang tidak adil. Semangat kru bajak laut dalam cerita yang melawan “World Government” terasa paralel dengan pengalaman mereka menghadapi negara yang korup atau represif.
Implikasinya bagi stabilitas demokrasi cukup besar. Di satu sisi, simbol ini memperkuat partisipasi politik anak muda, menandakan bahwa demokrasi tidak mati di tangan generasi baru. Tetapi di sisi lain, jika aspirasi mereka terus diabaikan, simbol ini bisa menjadi pemicu gerakan yang lebih radikal dan mengguncang stabilitas politik.
Bagi negara-negara demokrasi muda seperti Indonesia dan Nepal, fenomena ini merupakan sebuah peringatan. Gen Z tidak segan untuk mengekspresikan kekecewaan dengan cara yang kreatif sekaligus konfrontatif. Mereka lahir di era keterhubungan global sehingga solidaritas lintas negara mudah terbentuk, bahkan tanpa koordinasi formal.
Selain itu, bendera One Piece membuktikan bahwa politik bukan lagi monopoli elite. Budaya populer kini menjadi bahasa politik yang lebih efektif menjangkau jutaan anak muda. Ini menantang partai politik dan pemerintah untuk belajar “berbahasa” dengan cara yang lebih relevan dengan generasi baru.