Tak pernah terbayangkan dalam benak Dessi, ia akan melalui proses melahirkan yang begitu menegangkan, dan menempatkannya di antara hidup dan mati. Sebab sejak awal kehamilan semuanya baik-baik saja, dan ia cenderung tak merasakan keluhan serius.
Semuanya berubah ketika usia kandungannya menginjak 8 bulan. Perempuan bernama lengkap Dessi Butar-butar ini tiba-tiba demam, napasnya sesak, hingga mimisan. Ia akhirnya dirawat di rumah sakit. Namun kondisinya semakin menurun, dan belakangan ketahuan bahwa ia ternyata positif DBD.
“Kemudian saya masuk ICU, karena napas sudah nggak bisa tanpa alat bantu,” ujarnya dalam program Cerita Ibu kumparanMOM.
Dalam keadaan lemah dan kandungan yang semakin besar, ia harus menghadapi dua risiko sekaligus—penyakit yang bisa merenggut nyawanya dan janin yang harus segera diselamatkan.
Operasi Darurat di Tengah Kritis
Ketika merasa semakin lemas, Dessi meminta dokter untuk segera melakukan operasi caesar. Dokter akhirnya menyetujui operasi demi keselamatan Dessi dan bayi, meski kehamilannya baru 33 minggu.
Operasi berlangsung dalam kondisi darurat. Dessi tidak lagi sadar saat bayinya lahir. Hari-hari berikutnya menjadi gelap: perdarahan hebat di hari kedua, kejang di hari ketiga, bahkan tubuhnya sempat diberi kejut jantung!
“Saya baru sadar hari kelima, jam dua pagi. Masih pakai alat bantu napas, dan belum tahu kalau saya sudah melahirkan,” katanya pelan.
Bertemu Anak di Hari ke-11
Setelah 11 hari usai melahirkan, kondisi Dessi sudah lebih stabil, meski masih sangat lemah. Saat itulah dokter akhirnya mengizinkan Dessi menemui buah hatinya untuk pertama kali. Tubuhnya masih sakit, langkahnya belum kuat, tapi hatinya penuh haru.
“Saya nggak menyangka anak saya akan dapat begitu banyak selang di tubuhnya,” ujarnya.
Ada rasa bersalah yang sulit ia bendung—rasa bersalah karena si kecil lahir prematur dan harus berjuang begitu keras sejak hari pertama hidupnya. “Tapi saya sangat bersyukur, Tuhan masih kasih saya kesempatan hidup dan anak yang selamat,” katanya.
Cinta dan Dukungan yang Menyelamatkan
Di masa pemulihan, Dessi dikelilingi keluarga yang tak pernah berhenti memberi semangat. Suami, mama, dan adik-adiknya silih berganti menjaga, menemaninya melewati setiap rasa sakit dan tangis.
“Adik saya sampai satu bulan di Jakarta untuk jagain saya, padahal dia punya anak dua,” kisah Dessi. “Kalau nggak ada mereka, mungkin saya nggak bisa bertahan.”
Sang bayi pun beruntung—selama ibunya masih lemah, ia mendapat ASI donor dari komunitas sesama ibu di Jakarta. “Saya terharu, ternyata banyak sekali orang baik di luar sana,” katanya.