Guru, Gaji, dan Gengsi: Mengapa Profesi Pendidik Masih Dianggap Nomor Dua?

3 hours ago 2
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ilustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: Kemendikdasmen

Kalimat itu sering diulang sampai terasa klise—dipuji dalam pidato resmi, lalu dilupakan saat kebijakan anggaran dibuat. Di lapangan, realitasnya sederhana dan keras. Banyak guru, terutama honorer, menerima gaji yang jauh dari kata layak, sementara tuntutan pekerjaan tumbuh semakin berat. Mereka mengajar berjam-jam, menyiapkan bahan ajar, memberi pendampingan ekstra, dan mengurus administrasi, namun imbalan materi yang diterima seringkali tidak sebanding.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan angka dalam slip gaji; ia mencerminkan prioritas kebijakan yang menempatkan pendidikan pada urutan belakangan ketika bicara alokasi sumber daya. Ketika kualitas pendidikan diukur dengan capaian akademik siswa saja tanpa melihat kesejahteraan pendidiknya, maka kita sedang membangun sistem yang rapuh: berharap hasil besar dari pondasi yang dimarjinalkan.

Persoalan gaji tidak berdiri sendiri, ia terkait kuat dengan soal gengsi profesional. Dalam kultur sosial kita, penghargaan terhadap profesi sering berlabuh pada indikator material pendapatan, status sosial, dan simbol prestige. Dokter, pengacara, dan posisi-posisi korporat mendapatkan tempat tinggi karena secara kasat mata mereka “mencapai” atau “mendapatkan” lebih.

Guru, di sisi lain, sering dipandang “mulia” dalam kata-kata, tetapi kurang bergengsi dalam praktik, menjadi guru bukan aspirasi utama anak muda yang mengejar keamanan finansial dan pengakuan sosial. Dampaknya terlihat nyata, sumber daya terbaik sering terdorong ke profesi lain, sementara sekolah terutama di daerah terpencil, kekurangan tenaga yang kompeten dan termotivasi.

Paradoksnya, masyarakat menuntut hasil pendidikan yang tinggi, tetapi enggan memberi penghargaan substantif kepada mereka yang bertanggung jawab atas proses itu.

Alasan struktural memperkuat realitas ini. Sistem pengangkatan, karier, dan remunerasi guru di banyak daerah masih rentan dengan masalah jenjang karier yang tidak jelas, insentif yang kecil, serta mekanisme perlindungan yang lemah untuk guru kontrak atau honorer.

Selain itu, kebijakan pendidikan kerap berubah dari kurikulum hingga evaluasi tanpa dukungan pelatihan dan pendanaan yang memadai untuk penerapannya. Akibatnya, beban adaptasi jatuh pada guru tanpa kompensasi nyata. Di sisi lain, komersialisasi layanan pendidikan—hadirnya sekolah swasta eksklusif dan industri bimbingan belajar—menggeser persepsi tentang keberhasilan pendidikan yang sukses diukur berdasarkan akses dan hasil seleksi, bukan mutu pengajaran.

Dalam konteks seperti ini, penghargaan simbolis seperti “pahlawan tanpa tanda jasa” terasa hampa jika tidak diikuti oleh kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan, profesionalisme, dan martabat guru.

Guru ASN Kota Bogor mencairkan suasana sebelum memulai pembelajaran di SDN Loji 2 Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat, (29/11/2024). Foto: Arif Firmansyah/ANTARA FOTO

Dari sisi psikologis dan kultural, beban yang ditanggung guru sering luput dari perhatian publik. Selain kerja administrasi dan jam mengajar, guru harus mengelola dinamika kelas, menengahi konflik, dan berinteraksi intens dengan orang tua, seringkali tanpa dukungan psikososial atau waktu pemulihan.

Ketika guru mengeluh tentang kondisi kerja atau menuntut perbaikan, narasi yang muncul seringkali menyudutkan, seperti “kurang dedikasi” atau “tidak mau berkorban”. Padahal memperjuangkan kesejahteraan bukan bertolak belakang dengan dedikasi; sebaliknya, itu bagian dari tanggung jawab kolektif untuk memastikan guru bisa menjalankan fungsi profesionalnya secara berkelanjutan. Tanpa pengakuan nyata, bukan sekadar retorika semangat pengabdian mudah terkikis, dan profesionalisme pendidikan melemah.

Dampak dari semua ini bersifat jangka panjang dan sistemik. Ketimpangan penghargaan membuat akses terhadap kualitas pendidikan menjadi tidak merata. Sekolah di wilayah berdaya tarik finansial lebih mudah merekrut dan mempertahankan guru unggul, sedangkan sekolah di daerah terpencil terperangkap pada sirkulasi tenaga yang belum mendapat penghargaan layak.

Hasilnya adalah reproduksi ketidaksetaraan sosial: anak dari keluarga beruntung mendapat lebih banyak peluang karena diajar di sekolah yang lebih baik, sementara yang kurang beruntung terus tertinggal. Oleh karena itu, memperjuangkan kesejahteraan guru bukan hanya soal keadilan profesi, tetapi soal investasi masa depan bangsa, langkah yang pragmatis sekaligus etis.

Menutup argumen ini bukan hanya tentang meminta lebih banyak anggaran, ini soal mengubah cara pandang kolektif terhadap profesi pendidik. Pemerintah perlu menyusun kebijakan terp...

Read Entire Article